Minggu, 15 Mei 2016

KISAH ARJUNA SASRABAHU

                                                      
KISAH ARJUNA SASRABAHU
Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu
Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah
menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang
keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang
melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada.
Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil
mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan
Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna
Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak
meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang
akan mengalahkan kesaktiannya.
Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah
oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia
termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan
dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan
negaranegara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari.
Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri
Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan
Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi
Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas
sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati
nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu
hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga
sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.
Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari
negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama
lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah
mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya
terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan
kekerasan.
Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah
Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat
kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima
pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan
pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati
ke negara Maespati.
Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri
akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya.
memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang),
dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan
persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di
perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu
peperangan.
―Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak,
terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu
niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah
berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah
seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu
saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri
sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang
raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan
Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800
orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar
kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran
Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung
dahsyat dan hebat.‖
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna
Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan.
Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan
Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan
Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan,
peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan
perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang
ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu
Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama
Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat
dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna
atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu
Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang
Bharatayudha itu sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa
agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit
yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa
perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan
lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu
Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri
berwarna kuning gading.
Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik
oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu
yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda
berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik
Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada
keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara
Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang
hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar
di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas
dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang
Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang
menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua
kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan
Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan
Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta
mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang
yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang
sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh
Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri
domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para
patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih
seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung
oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring
Saloka dan Kahyangan Ekacakra.
Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata
perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang
kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan
anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu
Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar
dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan
Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar